Minggu, 15 Mei 2016

Tugas SOBS ke-5 tentang Inovasi Pembiayaan Akad Salam Berbasis IT di Perbankan Syariah

INOVASI PEMBIAYAAN AKAD SALAM BERBASIS IT DI PERBANKAN SYARIAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Operasional Bank Syariah
Dosen Pengampu : Gita Danupranata, S.E., M.M.
 
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Winceh Herlena    (20140730007)
Peni Damayanti    (20140730019)
Arinda Nuraeni    (20140730043)
Lisa Listiqomah   (20140730044)
Inayatul Ilahiyah  (20140730052)
Kelas A
Ekonomi dan Perbankan Islam
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2016
PENDAHULUAN
Tak bisa dibantah, bahwa terdapat hubungan yang kuat antara inovasi produk dengan pengembangan pasar bank syariah, artinya, semakin inovasi bank syariah membuat produk membuat produk, semakin cepat pula pasar berkembang. Maka, lemahnya inovasi produk bank syariah, bagaimanapun berimbas secara signifikan kepada lambatnya pengembangan pasar (market expansion). Lemahnya inovasi produk dan pengembangan pasar (market expansion) bank syariah harus segera diatasi, agar akselerasi pengembangan bank syariah lebih cepat. Inovasi produk diperlukan agar bank syariah bias lebih optimal dalam memanfaatkan fenomena global. Karena itu harus melakukan inisiatif akselerasi luar biasa dalam pengembangan pasar dan pengembangan produk.
Adapun dalam pembahasan ini kelompok kami akan membahas mengenai inovasi pembiayaan akad salam berbasis IT.

PENGERTIAN BAI’ AS-SALAM
Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha'(الإعطاء) dan at-taslif (التسليف).  Keduanya  bermakna  pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyathbermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).  Jual-beli  barang yang disebutkan  sifatnya  dalam  tanggungan  dengan  imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.
B.           LANDASAN SYARIAH
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a.      Al-Quran
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (Al- Baqarah: 282).
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.
b.      Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
            Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

C.          RUKUN BAI’ AS-SALAM
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut:
1.      Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2.      Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3.      Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4.      Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5.      Shigat adalah ijab dan qabul.

D.          SYARAT JUAL BELI SALAM
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:
1.      Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.      Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3.      Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.      Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.

1.      Syarat-syarat In’iqad
1)      Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
2)      Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam  merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.

2.      Syarat Sah Salam
a.       Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b.      Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.

3.      Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut:
a.       Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan tentu  mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam.  Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.      Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.
c.       ‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jikapembayaran ditentukan pada waktu yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.
d.      Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
e.       Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a)      Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
                   i.      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat;
                 ii.      Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan
               iii.      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
             i.            Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
           ii.            Penyerahan dilakukan kemudian;
         iii.            Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
         iv.            Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
           v.            Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

c)      Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
             i.            Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
           ii.            Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh
         iii.            Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak bo­leh meminta pengurangan harga (diskon); dan
         iv.            Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tam­bahan harga.

Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu pe­nyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela me­nerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.      Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2.      Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat berikut:
a.       Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual. 
b.      Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c.       Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.

E.           SALAM PARALEL
1.      Pengertian
Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.
2.      Ketentuan Umum
a.      Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b.       Penyerahan muslam fihi sebelum atau pada waktunya.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam fihi tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan.Jika muslam ilaih menyerahkan muslam fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut.
Jika muslam ilaih mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya.Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkan muslam fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam fihi lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan beberapa syarat:
a)      Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b)      Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c)      Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d)     Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampai muslam fihi tersedia.
3.      Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik.Demikian juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2 hal:
a.       Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
b.      Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali denganjalanperniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh Ijon:
Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai’ as Salam:
Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati duaton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai' as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat dipenuhinya.
4.      Aplikasi dalam Perbankan
Baias salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut.Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan kontrak.Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
5.      Risiko dan Manfaat
Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai'as salam mengandung risiko berdasarkan sifatnya yang simultan, salam paralel memiliki beberapa manfaat dan risiko yang harus diantisipasi oleh bank syariah, di antaranya:
a.       Default.Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan karena lalai atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta oleh  pembeli.
b.      Tak terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam. Hal terjadi jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan saat kontrak.
c.       Harga, harga barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang disepakati dengan penjual saat kontrak.
Manfaat bai’as salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.

6.      Skema Aplikasi Jual Beli Salam di Perbankan Syariah
Skema jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti pada Gambar berikut.


Keterangan:
Koperasi petani mangga harum manis memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen anggota-anggotanya tahun depan terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi petani tersebut mendatangi bank syariah dan menawarkan skema jual beli salam agar bank syariah tidak rugi dan petanipun dapat panen dengan baik. Maka prosesnya adalah sebagai berikut:
1.      Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
2.      Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,- .
3.      Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
4.      Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
5.      Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
6.      Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong.
7.      Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga Rp.100.000,- per kilogram.
8.      Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.

Dari penjelasan dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik dengan hasil yang memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah dengan harga jual di pasar buah.
Memang resiko yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup besar, utamanya ketika prospek harga barang tersebut ke depannya tidak terlalu positif. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli ini sangatlah tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang tidak dapat diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil pertanian, hanya pada jenis-jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus.


INOVASI PEMBIAYAAN AKAD SALAM BERBASIS IT
Berkembangnya teknologi akan mempermudah segala urusan, tak terkecuali pelayanan jasa yang ada di perbankan syariah di Indonesia. Pelayanan yang mudah, praktis dan sesuai dengan syar’i tentunya sangat berpotensi dalam perkembangan bank syariah untuk meningkatkan market share perbankan syariah. Inovasi perbankan syariah yang penulis usulkan adalah “Inovasi Pembiayaan Akad Salam Berbasis IT”
Mekanisme pembiayaan akad salam berbasis IT
1.      Pihak 1 (nasabah) yang ingin mengajukan pembiayaan akad salam dipermudah melakukan akad salam melalui media elektronik, seperti aplikasi video call smartphone, telephon secara langsung maupun melalui email.
2.      Pihak 2 (bank syariah) sebagai penjual, mengirimkan syarat-syarat akad salam dan formulir pengajuannya melalui email.
3.      Pihak 1 (nasabah) melengkapi persyaratan dan mengisi formulir-formulir pengajuan pembiayaan akad salam, serta menuliskan spesifikasi barang dan waktu penyerahannya.
4.      Pihak 2 (bank syariah) akan memberikan konfirmasi tentang persetujuan dari pengajuan pembiayaan akad salam.
5.      Jika telah disetujui, maka pihak 1 (nasabah) akan membayar harga barang yang di pesan melalui transfer ke bank tersebut.
6.      Tempat penyerahan barang akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan pada saat akad. 

KESIMPULAN
Bai'as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighat).
Inovasi akad salam berbasis IT dalam pelayanan jasa akan semakin mempermudah nasabah. Selain itu dengan berkembangnya inovasi yang kreatif dan sesuai dengan syar’i tentunya sangat berpotensi dalam perkembangan bank syariah untuk meningkatkan market share perbankan syariah.